Wednesday, December 31, 2014

Santri dan Siswa tak Sama #2

Kiswah Amalia

Menilik kasus kekerasan kemarin, saya sudah melakukan beberapa diskusi dengan teman saya, baik yang merupakan santri dan mahasiswa maupun yang hanya mahasiswa, nah, dari beberapa diskusi itu saya mendapatkan sebuah kenyataan perbedaan konsep berfikir dalam menanggapi masalah ini.

Pertama hasil diskusi dari teman saya yang seorang mahasiswa dan Santri, ia berpendapat bahwa sah-sah saja ketika seorang santri mendapat hukuman/takdzir/sanksi dari pondok karena kesalahannya, untuk kasus kekerasan kemarin kami para santri yakin bahwa hukuman tersebut dapat dipastikan sesuai dengan kesalahan yang ia perbuat. Dan Ia yang menjadi santri pun yakin bahwa hukuman itu sudah diketahui disepakati oleh santri dan walinya, teman saya juga mengatakan mengapa masalah yang sudah jelas kebenarannya harus diperamasalahkan, jika tradisi takdziran dipondok  saja sudah mulai ditentang lalu kemana anak bangsa akan belajar mandiri dan karakter tangguh menjalani hidup.tutur teman saya yang sudah enam tahun menjadi santri di salah satu pondok pesantren salaf terkenal di daerah Pantura.

Lain dengan pendapat teman saya yang hanya mengenyam pendidikan umum di sekolah, menurutnya kejadian tersebut merupakan sebuah kejadian pelanggaran Hak, dan ia merasa bahwa itu merupakan sebuah kekerasan dalam pendidikan yang harus di usut dengan jalan hukum. Menurutnya seseorang mampu belajar dengan baik tanpa kekerasan dan tanpa sabetan rotan, jika seorang Guru mampu menjadikan anak tersebut patuh dan menurut kepadanya. Saya setuju dengan pendapat teman saya mengenai pendidikan tanpa kekerasan, karena saya juga tidak menyukai tradisi kekerasan. Namun saya juga bingung bagaimana jika seorang anak tidak bisa menurut dengan Gurunya dan pelanggaran yang diperbuatnya sudah melebihi ambang toleransi. Mungkin seorang Guru harus benar-benar mampu menyatukan hatinya dengan hati anak didiknya agar tidak terjadi kekerasan seperti yang lalu.
Selanjutnya menurut saya kekerasan yang terjadi dipondok pesantren tersebut tidaklah sepenuhnya salah, menurut saya dipondok pesantren sudah ada perjanjian anatara santri, wali santri, Abah Yai dan pondok. Perjanjian ini direalisasikan dengan sebuah kalimat Ta’dzim kepada Abah Yai, kekerasan kemarin merupakan sebuah realisasi dari perjanjian tersebut, dimana jika seorang santri melakukan kesalahan maka  hukuman apapun harus ia terima, dan apakah orang tua akan protes? Jelas tidak, jika orang tua sudah masrahke (menyerahkan . id) putra/ putrinya kepada pesantren maka Orang Tua Wali sudah ikhlas putra putrinya untuk dididik sesuai dengan kurikulum pondok tersebut. Dan saya yakin bahwa kurikulum pondok insyaallah sesuai dengan syari’at islam dan adat norma nilai dan tradisi Indonesia.


No comments:

Post a Comment