Thursday, October 30, 2014

Tentang Desentralisasi Pendidikan

Homsa Diyah Rohana

Dasar diadakan pendidikan nasional tidak lain sumbernya adalah pancasila dan UUD 1945. Kedua hal tersebut merupakan landasan bagi kita untuk hidup bersama dalam suatu wadah Negara dan bangsa bernama Indonesia, sekaligus sebagai dasar utama kita dalam melakukan dan menyukseskan pendidikan nasional. Lebih jauh, kedua hal tersebut menjadi tuntunan dalam menerapkan perundang-undangan lainnya, terutama penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak boleh melanggar nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 tersebut. Bila itu terjadi, sudah terjadi pelanggaran atas nama untuk kita hidup bersama dengan wadah bangsa Indonesia.
Sistem Pendidikan Indonesia sebelum adanya kurikulum 2013 merupakan sistem yang bersifat desentralisasi dalam Pendidikan. Hakikat desentralisasi pendidikan adalah apa dan kepada siapa dan bukan semata-mata pada aturan atau regulation. Mengacu pada prinsip-prinsip dasar dan kreteria pembagian urusan dalam uu nomor 32 tahun 2004, apa dan siapa desentralisasi urusan bidang pendidikan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Pusat berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, pengawasan, dan evaluasi, superfisi, fasilitasi, dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional atau antarpropinsi dan antarnegara; 2) Propinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regiona; 3) Kabupaten atau kota berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas local.
Dalam hal pendidikan, pemerintahan daerahlah yang paling tahu kondisi ril siswa-siswinya, sehingga juga paling tahu bagaimana penanganannya. Tanpa mendiskriminasikan siswa-siswa berkualitas di daerah maju, kurang maju, dan tidak maju, pemerintah seharusnya rela menyerahkan urusan standar kelulusan ditentukan pemerintah daerah, karena desentralisasi ketatanegaraan yang dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan itu.
Apa yang dapat kita simpulkan dari polotik desentralisasi pendidikan nasional adalah bagaimana niatan pengusa untuk melakukan roses demokratisasi pendidikan, melepaskan pola sentralisasi pendidikan untuk berbaikan mutu manajemen pendidikan, kiranya masih setengah hati. Artinya, konsep dan semangatnya terhadap desentralisasi pendidikan barang kali sudah bagus akan. Akan tetapi, bagaimana kemudian penerapannya di lapangan justru memperlihatkan sebuah paradox karena penguasa masih meperlihatkan sikap kurang ihlas dalam menerapkan hal tersebut, seperti ragu-ragu dan takut kehilangan kekuasaan.
Hak otonomi pendidikan dalam pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, dan sistem penilaian yang telah diberikan kepada sekolah dengan MBS tersebut sayangnya sampai sekarang masih belum bias berjalan secara optimal. Para guru masih banyak yang apatis, statis dalam menamggapi pembaruan atau perubahan pendidikan. Mereka masih banyak yang terbelenggu pada sistem pembelajaran yang konfensional yang lebih menekanan pada pemberian informasi, pemberian pengetahuan, dan sifatnya pada hal-hal ingatan, serta mengabaikan pada aspek afektif dan konatif.

Pengabaian aspek koknitif dan konatif sangat merugikan bagi perkembangan peserta didik dalam mengadakan transpormasi social dan budaya. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan dalam mewujudkan suasana yang semaiin bersahabat, semakin bermartabat, dan semakin menujun tinggi nilai-nilai keadilan. Jika demikian sekolah yang melaksanakan otonomi masih sulit untuk menjadi agen dan pelaku perubahan. Sehingga untuk saat ini sistem digantikan kembali dengan bersifat sentralisasi yang pemerintah banyak berperan di dalamnya.

No comments:

Post a Comment