Thursday, October 30, 2014

“SIAP PAKAI” atau “SIAP MEMAKAI”

Homsa Diyah Rohana

“Konsep menghafal yang sudah menjadi konsep dasar pendidikan, learning by memorizing bukan dengan learning by doing maka anak didik tidak mendapatkan haqqul yaqin” pakar pendidikan Bukhori Nasuiton.
Kali ini saya akan menuliskan tentang apa yang saya pernah rasakan selama menjadi peserta didik yang kurang lebih sudah sekitar 13 tahun lamanya. Yang hal ini juga tentunya terkait dengan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia. Dulu, saya masih ingat skali ketika baru pertama kali masuk bangku Sekolah Dasar (SD). Dengan bangganya memakai seragam dengan atasan merah dan bawahan putih (seperti lazimnya) yang warnanya masih cerah dan bau anyarnya masih terasa. Selain itu, juga dengan sepatu, tas yang serba baru. Saya ingat betul betapa senangnya saya ketika itu. Bukan hanya karena segala atribut yang dipakai baru, tetapi memang kesenangan itu naruliah, tanpa ada alasan, rasanya semangat dan senang sekali untuk sekolah pertama.
Tahun demi tahun berjalan, saya mulai merasa bosan dengan apa yang diberikan guru. Walaupun ketika itu saya tergolong siswa yang cukup pintar dikelas, tapi tetap saja saya hanya merasa senang di sekolah karena bertemu banyak teman. Sebelum berangkat sekolah, saya selalu merencanakan ingin bermain apa nanti di sekolah. Misalkan saja bermain gathengan, pasti dari rumah saya sudah bersiap-siap membawa kecik dan bola bekel. Hal ini jauh berbeda ketika masih awal-awal bersekolah. Karena setiap malamnya pergi ke kamar bapak dan belajar bersama tentang apa yang baru di pelajari di sekolah. Kondisi ini seakan menggambarkan mulai lunturnya semangat sekolah yang dulu pernah saya miliki ketika kali pertama bersekolah.
Setelah mengenal pendidikan selama 6 tahun, saya hanya bisa mengeluh dan marah dalam hati terhadap diri sendiri. Karena, saya merasa saya bodoh dan tidak mempunyai keahlian apapun. Bagaimana tidak, ketika materi-materi di ajarkan bulan demi bulan materi itu menghilang dari pikiran dan hanya secuil persen saja yang menghinggap. Hal tersebut juga terjadi ketika saya SMK, selama tiga tahun sekolah, setiap tahunnya pasti rapor saya ada keterangan alfa karena membolos. Mulai ditingkat ini, saya tidak lagi membenci diri sendiri tetapi mulai membenci pemerintah dan pendidikan yang ada di Indonesia. saya merasa seperti robot yang sedang berada dalam “penjara”. Ketika bunyi “bel” pulang berdering rasanya gembira luar biasa karena bisa keluar dari “penjara”. Tidak hanya itu, ketika UN telah berakhir, rasanya ibarat baru saja keluar dari ruang gelap yang pengap, mengerikan dan tanpa cahaya sediktpun.
Dari cerita tersebut, saya menraik benang merah kesalahan paradigma pendidikan yang dipakai sekarang adalah beberapa diantaranya pendidikan di Indonesia itu mempersiapkan anak didik yang “siap pakai”. Hal ini secara mendasar telah membentuk budaya Employee. Mungkin seharusnya mempersiapkan anak didik yang “siap memakai”. Kita sadar bahwa sebagai employee nasibnya ditentukan oleh orang lain, bukan menentukan nasib orang lain. Kemudian, sistem pendidikan kita belum mampu mengakomodir perbedaan potensi dan kemampuan setiap individu anak. Seluruh kejanggalan yang sudah muncul di publik maupun yang menunggu giliran menjadi indikasi bahwa tidak ada komitmen secara nasional untuk memperioritaskan pendidikan. Namun paling tidak, di masa mendatang, diharapkan kepada para pengambil kebijakan, guru dan stakeholder pendidikan lainnya seperti orang tua, agar bisa fokus untuk memperbaiki kesalahan paradigma tentang pendidikan yang terjadi di negeri ini serta turunan masalahnya.


No comments:

Post a Comment