Khusnul
Roifah
“Menghafal”
sebuah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Sejak SD, kita sudah
mengenal istilah menghafal. Menghafal ibarat sudah menjadi budaya di wajah
Sistem Pendidikan Indonesia. Sejak SD, kita seolah-olah dituntut untuk
menghafalkan semua materi pelajaran yang telah disampaikan oleh guru kita. Guru
kita mnjelaskan materi pelajaran yang ada di buku paket, LKS atau buku
sejenisnya. Lalu guru menugaskan sekertaris kelas untuk maju, dan menulis materi
yang ada di buku. padahal sudah jelas-jelas semua siswa di kelas itu mempunyai
buku yang sama, dan materi yang sama seperti apa yang ditulis di papan tulis.
Ya begitulah pengalaman menyalin dan menghafal saya ketika duduk di bangku
Sekolah Dasar.
Ketika
masa-masa ulangan atau tes akan datang, semua siswa getun menghafal materi yang
akan diujikan di depan kelas. Ada yang menyendiri, ada yang berkelompok untuk
menghafalkan materi yang akan di ujikan. Sungguh pemandangan yang sudah biasa
kala itu. Entah hanya saya yang merasakan, atau kah orang lain juga merasa sama
seperti saya. Ketika detik-detik menjelang ujian akan berlangsung, siswa lebih
getun untuk mereview “hasil
hafalannya”. Saya merasa terbebani ketika seorang anak mengucapkan hasil
belajarnya yang amat sangat mirip dengan buku. Tindakan anak tersebut membuat
saya gugup dan tidak tenang sebelum menghadapi ulangan atau tes. Detik-detik
menjelang tes atau ulangan yang seharusnya di gunakan untuk bercengkrama dengan
teman, merilekskan otak sebelum kita menghadapi tes. Yang terjadi hanyalah
semakin gugup mendengar teman-teman yang lain menghafalkan materi.
Soal
tes dari guru, memang kebanyakan berasal dari buku yang dimiliki oleh siswa.
sehingga tercipta mental-mental menghafal pada anak. Soal tes seharusnya
bersifat pemahaman agar lebih mengembangkan pola pikir anak. Seperti pengalaman
saya ketika SMK, ada salah seorang guru yang menuntut siswanya untuk menjawab
soal tes dari beliau harus sama persis dengan yang ada di buku. “Hadeeeh, males
ngafalin”, “belum belajar semua”, “belum hafalan semua”, kata-kata yang biasa
diucapkan oleh teman-teman ketika akan menghadapi soal tes dari beliau.
Dengan
menghafal tidak akan menyebabkan siswa paham dengan materi yang disampaikan
oleh guru. Siswa cenderung akan lupa materi yang telah diajarkan oleh guru
setelah ada Ulangan Akhir Semester. Mereka merasa beban yang tela dipikul
selama satu semester telah hilang setelah adanya UAS. Sistem Menghafal di
Indonesia harus segera diapuskan, harus segera dibongkar. Sistem pendidikan di
Indonesia harus mampu mengubah kebiasaan lama siswa yaitu menghafal. Dengan
menghafal tidak akan membuat pendidikan di Indonesia maju.
No comments:
Post a Comment