Friday, January 2, 2015

Penjara ahmad rifai

                                                                              Penjara
                                                                          ahmad rifai
Hari pertama bersekolah dan berada di ruang kelas biasanya menjadi momen paling seru bagi siswa. Pada hari inilah mereka bisa memperluas lingkungan interaksi, dari interaksi bermain dengan tetangga sebaya meluas ke hubungan interpersonal dengan teman-teman baru. Akan tetapi, sadar atau tidak hubungan interpersonal tersebut lebih banyak terjadi pada saat siswa-siswa berada di luar ruang kelas, dalam situasi permainan. Ruang kelas yang biasanya persegi empat itu menjadi tempat ideal bagi guru untuk melakukan transfer ilmu kepada siswa. Secara tertutup tentunya. Padahal, kenyataannya anak-anak yang akan dididik berasal dari berbagai lingkungan, pola hidup, kemampuan intelektual, dan suasana emosional yang berbeda satu sama lain. Jika pengajaran melulu dipusatkan di dalam kelas, maka otomatis akan terjadi benturan-benturan. Baik benturan fisik maupun psikologis. Bagaimana jadinya anak-anak yang semula berada pada lingkungan yang bebas dan terbuka serta belajar sesuai dengan apa dan bagaimana cara mereka masing-masing, lalu ditempatkan dan diseragamkan dalam proses yang sama. Aktivitas bermain yang semula merupakan prioritas anak dalam mengasah kecerdasan mereka kemudian diganti dengan baca-tulis dengan cara yang seragam dan cenderung berlangsung satu arah dan tidak mengarah pada pengembangan. Bukankah hal seperti itu lebih mirip dengan rutinitas kegiatan dalam penjara?

Belajar sebagai bagian utama dari pendidikan, yaitu proses pemanusiaan menjadi hal yang kaku. Bukan hanya karena pengajaran yang berlangsung satu arah saja, akan tetapi sumber belajar yang dihadapkan kepada anak didik bersumber dari buku dan mungkin hanya itulah sumber belajar yang digunakan. Transformasi sumber belajar dari alam sekitar ke buku teks tentunya akan sangat berat bagi anak didik pada masa awal bersekolah. Ketika tidak ada hal lain yang bisa dieksplor selain melihat guru mengajar dan memperhatikan buku teks dengan berusaha sebisa mungkin untuk tidak beranjak dari tempat duduk. Bukankah ini benar-benar sebuah penjara? Yang menjadi momok belajar di ruang kelas adalah belajar itu sendiri.

Ingatlah kembali masa sekolah dasar. Bukankah kita akan lebih merasa senang jika bel istirahat berbunyi? Bukankah bel itu pertanda kemerdekaan? Karena pada saat itu para siswa akan kembali ke dunia nyata mereka sebagai anak dengan kegiatan bermainnya. Tidak sedikit dari kita sewaktu di SD suka bermain kelereng, lompat tali, atau sepakbola. Dalam permainan, anak bisa memfungsikan seluruh indra mereka. Bisa bergerak bebas, berteriak, berinteraksi, bekerja dalam tim, dan bereksplorasi. Di saat itu pula, keseragaman yang dieram di dalam ruang kelas akan berubah menjadi keberagaman yang sangat menarik dan mengasyikkan. Inilah efek buruk ruang kelas, membatasi keberagaman anak didik dan juga menekan keunikan yang dimilikinya.

No comments:

Post a Comment