Ade Romadoni
Hajatan
besar Kemendikbud yang bernama Ujian Nasional (UN) merupakan ajang
tahunan yang menguras
segenap tenaga dan upaya besar dengan biaya lebih dari Rp. 500 miliar. Di satu
sisi, upaya tersebut memberikan kesan kepada masyarakat bahwa Kemendikbud telah
melakukan tindakan penting dalam menyempurnakan kualitas pendidikan di
Indonesia. Di sisi lain, sebenarnya pemerintah sedang melakukan pembusukan
kualitas generasi muda masa datang dan sedang melebarkan jurang kehidupan
sosial di masyarakat. Argumen yang terus-menerus dilontarkan kepada publik
merupakan trik-trik pencitraan agar terbentuk pemikiran bahwa UN ialah urusan
paling penting dalam penataan pendidikan.
Kita
tengok dari mulai kualitas pembelajaran, adanya
UN sampai saat ini telah menimbulkan dampak negatif pada proses pembelajaran
dalam kelas. Guru yang mengajar mata pelajaran
yang diujikan cenderung fokus pada bagaimana membuat siswa terbiasa menjawab
soal-soal ketimbang memproses kemampuan berpikirnya. Kemampuan berpikir siswa
hanya terlatih pada kemampuan berpikir tingkat rendah, yaitu menghafal dan
menjawab pertanyaan. Dengan demikian, kesempatan siswa untuk berlatih berpikir
kritis relatif terbatas.
Kemudian
kita telisik pada moral para pelajar, Setiap tahun berita tentang UN didominasi
fakta-fakta negatif di lapangan. Berita tentang jual beli kunci jawaban bukan
hal yang asing. Secara psikologis, siswa-siswa kita telah secara tidak langsung
mendapat pelajaran resmi bahwa menyangkal kebenaran, memanipulasi, dan menipu
itu boleh.
Lagi, dari persoalan yang
sangat pelik ini, UN juga berimbas pada pemisah sosial. Bagaimana tidak siswa yang memiliki
akses ekonomi lebih punya kesempatan memilih sekolah bermutu yang benar-benar
memberi kesempatan untuk mengasah kecerdasan dan kompetensinya. Di samping itu,
mereka juga mampu membayar bimbingan belajar kelas wahid. Anak-anak dalam
kategori itu tentu saja jumlahnya hanya beberapa jika dibandingkan dengan
jumlah anak-anak tidak memiliki kesempatan. Kenyataan tersebut dalam jangka
panjang dipastikan akan menuai jurang pemisah sosial yang lebar.
Dari carut-marutnya UN didunia
pendidikan kita ini bukan tidak setuju harus ditiadakannya UN. Karena
bagaimanapun UN itu penting sebagai indikasi kemahiran suatu daerah. UN memang
tujuannya baik dan terarah. Seandainya tidak ada UN, kita semakin hancur.
Berapa banyak guru yang mengajar secara asal-asalan. Berita baiknya, negara-negara
maju seperti singapura dan korea selatan yang meraih peringkat 5 besar PISA
juga memiliki sistem Ujian berstandar Nasional dan pertanyaannya, mengapa
mereka bisa sukses sementara kita tidak? Intinya sederhana, kita hanya perlu
mengubah sistem pendidikan kita, yang lebih mengarahkan kepada bakat dan
kemampuan anak. Jangan sampai selamanya kita terjebak bahwa meraih nilai
tertinggi dalam UN berarti dialah yang terbaik.
No comments:
Post a Comment