Homsa Diyah Rohana
“Konsep menghafal yang sudah menjadi konsep dasar pendidikan,
learning by memorizing bukan dengan learning by doing maka anak didik tidak
mendapatkan haqqul yaqin” pakar pendidikan Bukhori Nasuiton.
Kali
ini saya akan menuliskan tentang apa yang saya pernah rasakan selama menjadi
peserta didik yang kurang lebih sudah sekitar 13 tahun lamanya. Yang hal ini
juga tentunya terkait dengan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia. Dulu,
saya masih ingat skali ketika baru pertama kali masuk bangku Sekolah Dasar
(SD). Dengan bangganya memakai seragam dengan atasan merah dan bawahan putih
(seperti lazimnya) yang warnanya masih cerah dan bau anyarnya masih terasa. Selain itu, juga dengan sepatu, tas yang
serba baru. Saya ingat betul betapa senangnya saya ketika itu. Bukan hanya
karena segala atribut yang dipakai baru, tetapi memang kesenangan itu naruliah,
tanpa ada alasan, rasanya semangat dan senang sekali untuk sekolah pertama.
Tahun demi tahun
berjalan, saya mulai merasa bosan dengan apa yang diberikan guru. Walaupun
ketika itu saya tergolong siswa yang cukup pintar dikelas, tapi tetap saja saya
hanya merasa senang di sekolah karena bertemu banyak teman. Sebelum berangkat
sekolah, saya selalu merencanakan ingin bermain apa nanti di sekolah. Misalkan
saja bermain gathengan, pasti dari
rumah saya sudah bersiap-siap membawa kecik dan bola bekel. Hal ini jauh
berbeda ketika masih awal-awal bersekolah. Karena setiap malamnya pergi ke
kamar bapak dan belajar bersama tentang apa yang baru di pelajari di sekolah.
Kondisi ini seakan menggambarkan mulai lunturnya semangat sekolah yang dulu
pernah saya miliki ketika kali pertama bersekolah.
Setelah
mengenal pendidikan selama 6 tahun, saya hanya bisa mengeluh dan marah dalam
hati terhadap diri sendiri. Karena, saya merasa saya bodoh dan tidak mempunyai
keahlian apapun. Bagaimana tidak, ketika materi-materi di ajarkan bulan demi
bulan materi itu menghilang dari pikiran dan hanya secuil persen saja yang
menghinggap. Hal tersebut juga terjadi ketika saya SMK, selama tiga tahun
sekolah, setiap tahunnya pasti rapor saya ada keterangan alfa karena membolos.
Mulai ditingkat ini, saya tidak lagi membenci diri sendiri tetapi mulai
membenci pemerintah dan pendidikan yang ada di Indonesia. saya merasa seperti
robot yang sedang berada dalam “penjara”. Ketika bunyi “bel” pulang berdering
rasanya gembira luar biasa karena bisa keluar dari “penjara”. Tidak hanya itu,
ketika UN telah berakhir, rasanya ibarat baru saja keluar dari ruang gelap yang
pengap, mengerikan dan tanpa cahaya sediktpun.
Dari cerita tersebut, saya menraik benang merah kesalahan
paradigma pendidikan yang dipakai sekarang adalah beberapa diantaranya
pendidikan di Indonesia itu mempersiapkan anak didik yang “siap pakai”. Hal ini
secara mendasar telah membentuk budaya Employee. Mungkin seharusnya
mempersiapkan anak didik yang “siap memakai”. Kita sadar bahwa sebagai employee
nasibnya ditentukan oleh orang lain, bukan menentukan nasib orang lain.
Kemudian, sistem pendidikan kita belum mampu mengakomodir perbedaan potensi dan
kemampuan setiap individu anak. Seluruh kejanggalan yang sudah muncul di publik
maupun yang menunggu giliran menjadi indikasi bahwa tidak ada komitmen secara
nasional untuk memperioritaskan pendidikan. Namun paling tidak, di masa
mendatang, diharapkan kepada para pengambil kebijakan, guru dan stakeholder
pendidikan lainnya seperti orang tua, agar bisa fokus untuk memperbaiki
kesalahan paradigma tentang pendidikan yang terjadi di negeri ini serta turunan
masalahnya.
No comments:
Post a Comment