Homsa Diyah Rohana
Dasar diadakan pendidikan nasional tidak lain sumbernya adalah
pancasila dan UUD 1945. Kedua hal tersebut merupakan landasan bagi kita untuk
hidup bersama dalam suatu wadah Negara dan bangsa bernama Indonesia, sekaligus sebagai
dasar utama kita dalam melakukan dan menyukseskan pendidikan nasional. Lebih
jauh, kedua hal tersebut menjadi tuntunan dalam menerapkan perundang-undangan
lainnya, terutama penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak boleh melanggar
nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 tersebut. Bila itu terjadi, sudah terjadi
pelanggaran atas nama untuk kita hidup bersama dengan wadah bangsa Indonesia.
Sistem
Pendidikan Indonesia sebelum adanya kurikulum 2013 merupakan sistem yang bersifat
desentralisasi dalam Pendidikan. Hakikat desentralisasi pendidikan adalah apa
dan kepada siapa dan bukan semata-mata pada aturan atau regulation. Mengacu
pada prinsip-prinsip dasar dan kreteria pembagian urusan dalam uu nomor 32
tahun 2004, apa dan siapa desentralisasi urusan bidang pendidikan dapat
dijabarkan sebagai berikut: 1) Pusat berwenang membuat norma-norma, standar,
prosedur, pengawasan, dan evaluasi, superfisi, fasilitasi, dan urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas nasional atau antarpropinsi dan antarnegara;
2) Propinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan
eksternalitas regiona; 3) Kabupaten atau kota berwenang mengatur dan mengurus
urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas local.
Dalam
hal pendidikan, pemerintahan daerahlah yang paling tahu kondisi ril
siswa-siswinya, sehingga juga paling tahu bagaimana penanganannya. Tanpa
mendiskriminasikan siswa-siswa berkualitas di daerah maju, kurang maju, dan
tidak maju, pemerintah seharusnya rela menyerahkan urusan standar kelulusan
ditentukan pemerintah daerah, karena desentralisasi ketatanegaraan yang
dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan itu.
Apa
yang dapat kita simpulkan dari polotik desentralisasi pendidikan nasional
adalah bagaimana niatan pengusa untuk melakukan roses demokratisasi pendidikan,
melepaskan pola sentralisasi pendidikan untuk berbaikan mutu manajemen
pendidikan, kiranya masih setengah hati. Artinya, konsep dan semangatnya
terhadap desentralisasi pendidikan barang kali sudah bagus akan. Akan tetapi,
bagaimana kemudian penerapannya di lapangan justru memperlihatkan sebuah
paradox karena penguasa masih meperlihatkan sikap kurang ihlas dalam menerapkan
hal tersebut, seperti ragu-ragu dan takut kehilangan kekuasaan.
Hak
otonomi pendidikan dalam pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, dan sistem
penilaian yang telah diberikan kepada sekolah dengan MBS tersebut sayangnya
sampai sekarang masih belum bias berjalan secara optimal. Para guru masih
banyak yang apatis, statis dalam menamggapi pembaruan atau perubahan pendidikan.
Mereka masih banyak yang terbelenggu pada sistem pembelajaran yang konfensional
yang lebih menekanan pada pemberian informasi, pemberian pengetahuan, dan
sifatnya pada hal-hal ingatan, serta mengabaikan pada aspek afektif dan
konatif.
Pengabaian
aspek koknitif dan konatif sangat merugikan bagi perkembangan peserta didik
dalam mengadakan transpormasi social dan budaya. Akibatnya, mereka mengalami
kesulitan dalam mewujudkan suasana yang semaiin bersahabat, semakin
bermartabat, dan semakin menujun tinggi nilai-nilai keadilan. Jika demikian
sekolah yang melaksanakan otonomi masih sulit untuk menjadi agen dan pelaku
perubahan. Sehingga untuk saat ini sistem digantikan kembali dengan bersifat
sentralisasi yang pemerintah banyak berperan di dalamnya.
No comments:
Post a Comment