Ade Romadoni
Sebuah
kalimat “Berseragam Sekolah dalam Penjara”
tiba-tiba muncul ketika tergambar sebuah suasana disekolah yang penuh dengan
aturan, tatanan dan sanksi ditambah pula dengan gerbang sekolah yang menjulang
tinggi nan kokoh bak kita dalam bui. Dalam sistem pendidikan nasional
pengertian sekolah adalah salah satu tempat dilaksanakanya kegiatan
pembelajaran untuk menghasilkan generasi yang memiliki pengetahuan, ketrampilan
dan moralitas yang tinggi, Idealnya, sekolah dengan berbagai kegiatan
pembelajaranya merupakan tempat yang menyenangkan sehingga anak-anak dapat
mengembangkan potensi dan bakatnya secara maksimal. Dalam kenyataannya, baru
sebagian kecil sekolah yang benar-benar menjadi tempat yang menyenangkan bagi
anak-anak.
Ini
terungkap ketika pengumuman kelulusan Ujian Nasional. Banyak siswa yang lulus
ujian mengungkapkan kegembiraannya itu dengan mencoret baju seragamnya
menggunakan spidol, pilox dan lain sejenisnya. Seolah tergambarkan, selama
menjadi seorang siswa mereka terkekang dan tidak mampu menyatakan dirinya
sebagai manusia sejati. Apakah yang membuat salah dari sistem pendidikian kita?
Rasa takut dan terbatasi karena guru adalah segalanya ataukah tata tertib yang
mengharuskan siswa mentaatinya?. Jika benar adanya demikian yang ada adalah
anggapan bahwa aturan yang dibuat oleh sekolah adalah untuk dilanggar oleh
siswanya. Setelah siswa masuk dalam lingkungan sekolah kemudian mereka
dihadapkan dengan gerbang yang membatasi dunia luar dengan sekolah, inilah mengapa
“sekolah sama dengan penjara”.
Kemudian
sistem pendidikan yang menekankan guru adalah segalanya, inilah yang menyempitkan
ruang gerak dan berpikir peserta didik dalam beraktivitas. Guru dengan
perintahnya itu ibarat raja dan atau penguasa yang harus dituruti anak didik. Mereka
justru semakin pusing dan tidak bisa berpikir jernih. Itu menyebabkan mereka
terbebani oleh sekian banyak pelajaran dan tugas yang berat dari sekolah.
Seharusnya sistem pendidikan yang dijalankan adalah berpusat pada siswanya, memahami
kebutuhan siswa dan senantiasa memotivasi. Jadi peran guru tidaklah otoriter
melainkan sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Dari pergeseran paradigma
inilah sekolah bisa menjalankan sistem pendidikannya yang memanusiakan manusia
bukannya “memenjarakan siswa dalam
sekolah”.
Semoga
sekolah tidak lagi menjadi “penjara”
bagi anak-anak sekolah, tetapi sekolah adalah tempat yang menyenangkan bagi
anak-anak dalam menimba ilmu. Penutup kata adalah suatu sistem pendidikan yang
dibuat dan digunakan dalam sekolah dan semua programnya senantiasa harus dapat
disambut ceria oleh siswanya dan mereka berlomba-lomba untuk menceritakan
pengalamannya saat bersekolahnya. Tidak ada lagi anak-anak yang merasa
“terpaksa” untuk pergi sekolah dan tidak ada lagi anak-anak yang lebih merasa
senang bila gurunya sakit atau tidak datang.
No comments:
Post a Comment