Yossika Vidya
Pada beberapat tahun silam pendidikan indonesia masih memandang Buku sebagai bahan dasar untuk kegiatan belajar. Kualitas buku, dan berapa banyak buku yang dibaca akan menentukan berapa banyak sesuatu yang dipelajari oleh seorang siswa . kegiatan belajar formal menuntut agar buku menjadi pegangan bagi setiap guru atau pendidik. Buku dipandang sebagai sarana yang mudah dan terstruktur yang dibuat khusus untuk membantu guru dan peserta dalam mencapai tujuan pendidikan. Sehingga dapat di dikatakan bahwa ”Dimana ada guru disitu ada Buku”. Namun hal itu membuat peserta didik hanya terfokus pada satu sumber belajar, membatasi kreatifitas peserta didik untuk mencari referensi lain yang lingkupnya lebih luas.
Jika dibandingkan dengan era sekarang tentunya sangat jauh berbeda. Di ere reformasi ini perkembangan teknologi telah mengambil alih hampir seluruh peranan sistem dipemerintahan tidak terkecuali bidang pendidikan. Para peserta didik sudah tidak lagi memandang buku sebagai sumber belajar utama, karena dirasa ada sumber yang lebih mudah ditemukan dan dipelajari, internet misalnya. Materi pembelajaran apa saja dapat dengan mudah kita temukan hanya dengan “klik”, tidak seperti buku yang harus ditenteng, kemudian dibaca lembar demi lembar.
Namun jika kita telaah lebih jauh, di zaman buku semua peserta didik bisa belajar bersama tanpa adanya perbedaan fasilitas atau akses khusus. Coba kita lihat dizaman teknologi ini, sumber belajar pun dapat menyebabkan kesenjangan sosial antar peserta didik. Bisa kita lihat bagaimana kontrasnya cara belajar anak orang kaya dan miskin. Tentunya fasilitas yang digunakan daam pembelajaranpun sudah jauh berbeda. Untuk anak orang kaya dapat memaksimalkan mereka dalam mencari sumber belajar dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh orang tuanya, sebaliknya untuk anak yang kurang mampu hanya bisa menggunakan fasilitas seadanya yang dapat mereka jangkau.
No comments:
Post a Comment