Wednesday, November 19, 2014

Kekerasan Anak SD Bukittinggi, Salah Siapa?

Ahmad Ghilman

                  Kasus terbaru kekerasan anak SD di Bukittinggi telah sukses mencoreng dunia pendidikan kita. Berbagai respons dari masyarakat bermunculan, hingga sampai pada suatu kesimpulan, ini adalah salah sekolah. Hujatan kepada sekolah, baik itu pada guru, kepala sekolah, dan lainnya dilontarkan melalui berbagai media. Maka tidak perlu menunggu waktu lama setelah berita ini booming, sang guru agama (yang saat itu tengah mengajar anak tersebut) segera dipecat dari sekolah.
           Timbul pertanyaan, mengapa setiap kekerasan di sekolah yang terjadi selalu mengarahkan tuduhannya pada sekolah? Sekolah selalu dianggap menjadi biang kerok dari segala kerusakan moral para siswanya. Sebagian orangtua mungkin beranggapan, mereka sudah membayar uang sekolah dan lain-lain, jadi mereka menyerahkan sepenuhnya anak pada sekolah. Sekolah bertanggung jawab penuh atas siswa. Jika terjadi masalah, maka yang disalahkan pertama kali adalah sekolah atau gurunya.
Ironis memang kenyataan yang terjadi pada sebagian besar orangtua saat ini. Ketika mereka sudah menganggap bahwa sekolah adalah layaknya “tukang sulap” yang mampu mengubah karakter dalam sekejap. Padahal, orangtua adalah “madrasah pertama” bagi anak. Merekalah yang mendidik sejak kecil hingga dewasa. Orangtua memiliki peran vital dalam mendidik anak. Peranan sekolah tidak lebih tinggi dari peran orangtua. Pendidikan yang sebenarnya berlangsung di lingkungan keluarganya. Orangtua dalam hal ini adalah guru sebenarnya bagi sang anak.
               Kasus yang terjadi di SD Bukittinggi menimbulkan pertanyaan. Sekejam apakah orangtuanya sampai anaknya berperilaku bak binatang seperti itu? Mungkinkah lingkungan keluarga yang baik, orangtua yang penuh kasih sayang, dan keluarga yang harmonis akan membentuk perilaku anak yang penuh dengan kekerasan seperti itu? Semua pasti menjawab tidak mungkin. Maka yang seharusnya ditelusuri lebih lanjut adalah bagaimana keadaan keluarga dari anak-anak tersebut.
Orangtua adalah panutan utama bagi anak. Seperti pepatah, buah tidak jatuh dari pohonnya. Kita sudah sering melihat berbagai kasus anak yang mirip bapaknya. Orangtua yang mendidik dengan keras, anaknya pun akan berwatak keras. Jika orangtuanya mendidik dengan sabar dan lemah lembut, akan membentuk karakter anak yang cinta kasih sayang. Sebagian besar orang tentu setuju dengan pendapat tersebut. Hanya saja apakah semua orangtua mau “mengambil pelajaran”?
Maka kasus yang terjadi di SD Bukittinggi ini perlu dilihat secara objektif. Benarkah ini murni kesalahan guru? Memang tidak melepas kemungkinan kesalahan dari guru, apalagi setelah dibuktikan ternyata guru berada pada lokasi kejadian. Namun jangan sampai kita melupakan bahwa anak adalah cerminan dari orangtuanya. Anak adalah hasil didikan orangtuanya.

               Seharusnya (dan memang harus) orangtua bertanggungjawab atas karakter anak. Orangtua harus menaruh perhatian besar pada pendidikan di lingkungan keluarga. Ciptakan suasana keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Sikap terbuka antar anggota keluarga diperlukan untuk memecahkan berbagai masalah yang terjadi. Kondisi ini akan membentuk karakter anak yang baik dan unggul.

No comments:

Post a Comment