Homsa Diyah Rohana
Pendidikan
menjadi momok utama bagi setiap negara. Banyak yang mengatakan bahwa kemajuan
suatu negara itu berawal dari pendidikan di negara itu sendiri. Memang ada
benarnya, karena darimana lagi kalau bukan dari pendidikan pengetahuan dapat
ditanamkan. Pendidikan di Indonesia dari tahun ketahun tidaklah jauh berbeda.
Hanya ada perubahan di beberapa unsurnya. Dewasa ini, pemerintah semakin
berusaha memperbaiki sitem pendidikan di Indonesia yang menurut penilaian
internasional, sistem pendidikan di Indonesia berada di urutan bawah. Ironis
bukan? Sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi belum dapat
mengembangkan pendidikannya menjadi lebih maju. Banyak upaya yang dilakukan
oleh pemerintah demi kemajuan pendidikan Indonesia, namun sepertinya hal
tersebut hanya dilakukan di daerah pusat saja. Berbeda nasibnya dengan
pendidikan di daerah perbatasan, mereka seakan terkesan terabaikan.
Kondisi
sekolah di daerah perbatasan cukup membuat kita
tercengang. Mulai dari fasilitas hingga kondisinya yang sangat jauh berbeda
dengan yang ada di daerah pusat. Kemudian tenaga pengajar, banyak tenaga
pengajar disana yang begitu kurang profesional. Bahkan ada yang acuh dengan
kemajuan pendidikan disana. Contohnya saja, banyak guru disana yang memiliki
laptop tetapi tidak bisa menggunakannya sama sekali. Laptop tersebut justru
mereka pergunakan untuk bermain game anaknya
saja(lihat kompasiana.com 04-02-2014). Padahal jika mereka bisa
mengoptimalkan adanya laptop tersebut, mungkin hal itu dapat sedikit menjadikan
pendidikan di daerah perbatasan lebih berkualitas. Tentu fenomena ini jauh
berbeda dengan sekolah-sekolah di daerah pusat. Inilah salah satu kekurangan
sistem pendidikan di Indonesia.
Jika
kita sadari bersama, masyarakat didaerah perbatasanlah yang harusnya lebih di
utamakan dalam segala hal. Karena apa? Karena masyarakat di daerah perbatasan
rentan akan hal disintegrasi atau perpecahan. Jika mereka merasa seperti tidak
di perdulikan oleh negaranya sendiri, besar kemungkinan mereka ingin memecah
diri. Lihat saja dalam sebuah karya film “tanah surga katanya” yang didalamnya
menggambarkan betapa mirisnya sekolah di daerah perbatasan itu. Mereka tidak mengenal mata uang
negara sendiri, mereka tidak tahu lagu kebangsaan Indonesia tetapi, justru yang
mereka kenal dan lebih tahu adalah tentang negara tetangga yang berdekatan
dengan batas negara.
Satu
lagi kondisi yang cukup lucu adalah pernyataan beberapa masyarakat disana
tentang halaman rumah masuk Indonesia, dapur sudah masuk negara lain. Kemudian,
isi kepala Indonesia, isi perut negara lain. Hal ini disebabkan karena susahnya
akses menuju daerah pusat di negara untuk membeli berbagai kebutuhan sandang,
pangan, dll. Masyarakat disana lebih memilih berbelanja di negara tetangga yang
lebih mudah aksesnya serta harganya juga yang lebih murah (lihat kompasiana.com 04-02-2014).
Jika hal ini dibiarkan terus menerus, bagaimana untuk selanjutnya? Oleh karena
itu, sudah sepatutnya kita tidak hanya memikirkan sekolah di daerah pusat saja,
tetapi sekolah di daerah perbatasan yang harusnya lebih kita
perjuangkan kemajuannya sebagai tameng kedaulatan negara Indonesia. Dengan
demikian, harapan untuk sistem pendidikan yang ada di Indonesia tidak lagi
berada di peringkat bawah dan tidak lagi mengabaikan sekolah-sekolah yang
berdada di perbatasan.
No comments:
Post a Comment