Ahmad Ghilman
Kasus terbaru kekerasan anak SD di Bukittinggi telah sukses
mencoreng dunia pendidikan kita. Berbagai respons dari masyarakat bermunculan,
hingga sampai pada suatu kesimpulan, ini adalah salah sekolah. Hujatan kepada
sekolah, baik itu pada guru, kepala sekolah, dan lainnya dilontarkan melalui
berbagai media. Maka tidak perlu menunggu waktu lama setelah berita ini booming,
sang guru agama (yang saat itu tengah mengajar anak tersebut) segera dipecat
dari sekolah.
Timbul pertanyaan, mengapa setiap kekerasan di sekolah yang
terjadi selalu mengarahkan tuduhannya pada sekolah? Sekolah selalu dianggap
menjadi biang kerok dari segala kerusakan moral para siswanya. Sebagian
orangtua mungkin beranggapan, mereka sudah membayar uang sekolah dan lain-lain,
jadi mereka menyerahkan sepenuhnya anak pada sekolah. Sekolah bertanggung jawab
penuh atas siswa. Jika terjadi masalah, maka yang disalahkan pertama kali
adalah sekolah atau gurunya.
Ironis memang kenyataan yang terjadi pada sebagian besar
orangtua saat ini. Ketika mereka sudah menganggap bahwa sekolah adalah layaknya
“tukang sulap” yang mampu mengubah karakter dalam sekejap. Padahal, orangtua
adalah “madrasah pertama” bagi anak. Merekalah yang mendidik sejak kecil hingga
dewasa. Orangtua memiliki peran vital dalam mendidik anak. Peranan sekolah
tidak lebih tinggi dari peran orangtua. Pendidikan yang sebenarnya berlangsung
di lingkungan keluarganya. Orangtua dalam hal ini adalah guru sebenarnya bagi
sang anak.
Kasus yang terjadi di SD Bukittinggi menimbulkan pertanyaan.
Sekejam apakah orangtuanya sampai anaknya berperilaku bak binatang seperti itu?
Mungkinkah lingkungan keluarga yang baik, orangtua yang penuh kasih sayang, dan
keluarga yang harmonis akan membentuk perilaku anak yang penuh dengan kekerasan
seperti itu? Semua pasti menjawab tidak mungkin. Maka yang seharusnya
ditelusuri lebih lanjut adalah bagaimana keadaan keluarga dari anak-anak
tersebut.
Orangtua adalah panutan utama bagi anak. Seperti pepatah,
buah tidak jatuh dari pohonnya. Kita sudah sering melihat berbagai kasus anak
yang mirip bapaknya. Orangtua yang mendidik dengan keras, anaknya pun akan
berwatak keras. Jika orangtuanya mendidik dengan sabar dan lemah lembut, akan
membentuk karakter anak yang cinta kasih sayang. Sebagian besar orang tentu
setuju dengan pendapat tersebut. Hanya saja apakah semua orangtua mau
“mengambil pelajaran”?
Maka kasus yang terjadi di SD Bukittinggi ini perlu dilihat
secara objektif. Benarkah ini murni kesalahan guru? Memang tidak melepas
kemungkinan kesalahan dari guru, apalagi setelah dibuktikan ternyata guru
berada pada lokasi kejadian. Namun jangan sampai kita melupakan bahwa anak
adalah cerminan dari orangtuanya. Anak adalah hasil didikan orangtuanya.
Seharusnya (dan memang harus) orangtua bertanggungjawab atas
karakter anak. Orangtua harus menaruh perhatian besar pada pendidikan di
lingkungan keluarga. Ciptakan suasana keluarga yang harmonis dan penuh kasih
sayang. Sikap terbuka antar anggota keluarga diperlukan untuk memecahkan
berbagai masalah yang terjadi. Kondisi ini akan membentuk karakter anak yang
baik dan unggul.
No comments:
Post a Comment